Pages

Aku yang Tak Berguna [Bag.1]


Angka di buku itu pernah berwujud "9" dan berwarna biru. Tandanya nilai bagus, bahkan tertinggi di antara yang lainnya. Namun air muka Papa tidak berubah. Tetap menatap lumrah dan berkata dengan datar "Bagus". Kemudian kini, angka di buku itu menjadi berwujud "6" dan berwarna lebih berani, merah. Ini peringatan. Nilai itu nilai buruk. Jidat Papa berkerut. Nadanya meninggi "Bagaimana bisa?!". Tidak berhenti sampai disitu saja. Masih banyak keluh kesah Papa menanggapi angka 9 yang terbalik itu.

Erlien tidak mengerti apa tepatnya yang diinginkan papanya itu. Nilai bagus, tidak digubris, giliran nilai jelek, menggerutu tiada habisnya. Erlien ingin membahagiakan Papanya dengan nilai yang bagus itu. Sayangnya respon yang ditampilkan sang Papa tidak membuat Erlien puas. Respon itu menurunkan semangat Erlien. Penurunan semangat Erlien kemudian diganjar oleh nilai 6. Kini Papanya yang tidak puas. Sedang Erlien sendiri menjadi begitu bingung.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang aku lakukan sepertinya selalu salah. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang aku lakukan sepertinya tak ada gunanya. Papa tidak bahagia atasnya. Nilai bagus sepertinya biasa saja. Nilai jelek ternyata malah menyakitinya. Harus bagaimana?

Jilbaber itu tak berhenti menyanyikan doanya. Solat malam terberat pun ia tapaki. Ketika menghadap-Nya di waktu Dhuha, ia begitu lama bertafakur. Hatinya begitu gundah. Kepada Sang Perumus Cobaan, ia bertanya seputar "Kenapa-kenapa-kenapa" dan "Bagaimana-bagaimana-bagaimana".

Jilbaber itu kini telah bertahan 5 bulan dengan keadaan bertanya-tanya tersebut. Ia masih gemar menyanyikan doanya. Tidak berhenti. Solat malam terberat pun tak ia musnahkan. Tafakur yang lama juga tidak ia khianati. Hatinya tetap gundah. Namun kini ia tidak mengumandangkan sedikit pun pertanyaan. Pasrah sembari dalam hati kecilnya ia bertanya "Kenapa Allah tak kunjung mencukupkan cobaanku sementara ibadahku terhadap-Nya adalah melebih batas cukup?".

Tugas menahan matanya agar tetap setia terbuka hingga larut malam hari itu. Begitu huruf terakhir selesai digoreskan oleh penannya, ia menghempaskan diri di kursi yang sedari tadi didudukinya sambil menghela napas panjang. Selesai juga, alhamdulillah! Erlien naik ke atas ranjang. Hanya cukup sekejap mata dan ia tertidur begitu pulas.

Pukul 3 tepat matanya kembali terbuka.
"Solat malam Lien" kata sebuah suara di hatinya.
"Aduh, tapi masih ngantuk banget!" kata suara lain di hatinya.
"Cuma sebentar saja" sahut suara awal
"Besok pagi harus sekolah, kalau di sekolah capek bagaimana?"
"Kalau tidak solat tasbih, ya solat tahajud saja"
"Ya ampun, maksain diri banget, kan cuma sunah,lagipula selama ini aku tak pernah meninggalkannya... sekali-kali kan tidak mengapa"
"2 rakaat saja, ambil nilai minimal-lah, daripada tidak?"
"Orang kita capek kok malah memaksakan diri seperti itu. Itu tidak sesuai kemampuan! Nanti malah dosa jadinya!"
Perdebatan berakhir. Kata "dosa" yang diucapkan oleh suara terakhir memantabkan hati Erlien untuk melanjutkan merajut mimpi.

Pagi harinya, Erlien membuka mata. Awalnya perlahan-lahan. Sedetik kemudian, matanya sudah terbuka begitu lebar memandang khidmat pada angka 6 yang ditunjukkan oleh jarum pendek dan angka 3 yang ditunjukkan oleh jarum panjang jam di kamarnya. Telat! Ya Subuhnya, ya sekolahnya. Ia buru-buru menunaikan ibadah Subuhnya. Di penghujung rangkaian ibadahnya itu Erlien segera menarik lepas mukenanya. Ia tidak menyanyikan mantera-mantera doa.

Semenjak hari itu interaksi vertikal yang dulunya begitu intim dilakukan oleh Erlien mulai mengendor. Kemesraannya "sedikit" hilang. Ia merasa Allah tak kunjung menjawab ikhtiarnya.
Mungkin, memang ini adalah hukuman bagi Allah. Hukuman apa? Entahlah! Sabar hanya milik cobaan, milik hukuman adalah kata "jalani saja", jadi : Jalani saja-lah! [Bersambung...]

0 cuap-cuap:

Posting Komentar